Pengertian Bhineka Tunggal Ika dalam Buku Sutasoma – apa yang dimaksud dengan Bhineka Tunggal Ika? Disini saya akan kembali menjawab pertanyaan tersebut. Namun sebelum kita masuk pada pembahasan mengenai Pengertian Bhineka Tunggal Ika dalam Buku Sutasoma. Ada baiknya kita lebih dahulu mengetahui dari mana asal mula semboyan tersebut ada.
Pengertian Bhineka Tunggal Ika Dalam Lambang Negara Garuda Pancasila
Sebagaimana dengan yang di ungkapkan oleh Suhandi Sigit dalam bukunya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012:196), beliau mengemukakan bahwa ungkapan atau semboyan Bhineka Tunggal Ika tersebut dapat ditemukan dalam kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV pada masa Kerajaan Majapahit.
Didalam kitab sutasoma tersebut Mpu Tantular menuliskan kalimat “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang berarti (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina(Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua).
Sejarah dan Pengertian Bhineka Tunggal Ika dalam Buku Sutasoma
Perlu kita ketahui pula bahawa Judul resmi dari Kitab Sutasoma tersebut sebenarnya adalah “Purusadha”.Kitab Sutasoma dirubah oleh Mpu Tantular yakni dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun (1350 – 1389). Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah di negeri kita tercinta ini, mengapa demikian? karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para “founding fathers” republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara Republik Indonesia. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva
Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,
Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,
Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahannya:
Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa
Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu
Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya
Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal
Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua
Lebih jauh, kitab itu pun bukanlah kitab keramat atau pantas dikeramatkan. Mpu Tantular tidak memaksudkannya sebagai kitab tempat orang berguru untuk menyelenggarakan pemerintahan di suatu Negara. Kurang-lebihnya ia adalah kitab yang bernuansa Buddha, dan menceritakan sebuah kisah yang diharapkan dapat diteladani oleh umat Buddha. Kisah tersebut adalah mengenai seorang pemuda bernama Raden Sutasoma. Dari nama tokoh utama tersebutlah kitab tersebut mendapatkan judulnya.
Makna Semboyan Bhineka Tunggal Ika
Secara garis besar bahwa makna dari Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan Indonesia bermakna walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya merupakan suatu persatuan. Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 tahun 1951 tentang lambang Negara Republik Indonesia, yang diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No. II tahun 1951. Dan di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kata-kata tersebut dapat pula diartikan : Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dapat di ambil kesimpulan bahwa Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia negeri kita tercinta ini, dimana kita haruslah mampu menerapkannya didalam kehidupan sehari-hari yakni hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain-lain.
Indonesia ini merupakan negara kepulauan yang terdapat dari beribu-ribu pulau didalamnya, dimana setiap daerah atau setiap provinsi memiliki adat istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka tunggal Ika pastinya akan terjadi berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap oarng akan hanya mementingkana dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli kepentngan bersama.
Apabila hal tersebut terjadi sudah tentu negara kita ini akan terpecah belah. Maka oleh karena itu marilah kita bersama-sama menjaga bhineka tunggal ika tanpa mementingkan ras, suku dan budata dengan sebai-baiknya sehingga kelak yang terjadi adalah persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga dan kita sebagai anak bangsa harusnya menyadari bahwa menyatukan bangsa ini sangat memerlukan perjuangan yang panjang yang telah dilakukan oleh para pahlawan – pahlawan kita, pendahulu kita dalam mempersatukan wilayah direpublik Indonesia ini menjadi negara kesatuan yang utuh. Baca juga: Perkembangan Demokrasi pada Masa Demokrasi Liberal, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar